Monday, December 23, 2013

Cinta dan Mengikuti Rasulullah SAW

Allah Ta'ala berfirman :
Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)

Ayat ini menerangkan bahwa tanda dari kecintaan kita kepada Allah adalah mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan bahwa mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sarana untuk mendapatkan kecintaan dan ampunan dari Allah Ta'ala.


Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
" Seseorang di antara kamu belum beriman sehingga aku lebih dicintainya daripada kedua orangtua, anaknya dan seluruh manusia." HR. Bukhari dan Muslim.

dalam diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terdapat akhlak yang mulia, keberanian dan kemuliaan. Barangsiapa melihatnya secara tiba-tiba akan takut kepadanya, dan barangsiapa yang bergaul dengannya maka dia akan mencintainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyampaikan risalahnya, memberi nasihat kepada umat, mempersatukan kalimah, membuka beberapa hati manusia bersama para sahabatnya dengan mempersatukan mereka dan membuka banyak negeri dengan perjuangan mereka untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan terhadap Tuhan manusia.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya telah menyampaikan kepada kita agama Islam secara sempurna tanpa tercampur dengan bid'ah dan khurafat, dan tidak perlu ditambah atau dikurangi.

Allah berfirman :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. QS. 5:3)


Oleh karenanya, ikutilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki dan janganlah menambah-nambah atau membuat syari'at yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula pernah dikerjakan oleh para sahabatnya, dengan demikian mudah-mudahan Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang benar dalam keimanan mereka kepada-Nya sehingga Allah memenuhi janji-Nya kepada mereka.


Allah berfirman :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)



Dan ketahuilah bahwa cinta kepada Allah dan RasulNya yang benar mempunyai konsekuensi untuk melaksanakan kitab Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih, melaksanakan hukum dengan berpegang teguh kepada keduanya dan tidak boleh mendahulukan pendapat orang atas keduanya.


Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 49:1)


Ya Allah, karuniailah kami untuk mencintai dan mengikuti RasulMu, berakhlak dengan akhlaknya dan memperoleh syafa'atnya.

Pembentukan Karakter Santri Melalui Pesantren

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur pada Allah SWT, yang memberikan hidayah dan taufiq sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Shalawat beriring salam senantiasa pada baginda Muhammad SAW, melalui risalahnyalah kita dapat menikmati berbagai macam ilmu pengetahuan.
            Makalah sederhana yang berjudul “Pembentukan Karakter Santri Melalui Pesantren” ini penulis buat dengan usaha keras untuk tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, penulis sadar masih banyak kekurangannya. Dengan ikhlas dan lapang hati demi penyempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran serta uluran tangan dari pembaca.

            Terimakasih saya ucapkan kepada pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan informasi kepada penulis dalam pembuatan makalah ini. Semoga bukan hanya bermanfaat bagi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry tetapi juga untuk khalayak ramai masyarakat Aceh.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai pedesaan dan perkotaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai yang strategis dalam pengembangan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan perilaku masyarakat Islam khusus bagi yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Tulisan ini mengankat kiprah yang dilakukan pesantren, peran ustaz dan metode pembentukan perilaku santrinya. Dari penelusuran itu, langkah-langkah pesantren itu ke depan sangat penting untuk didiskusikan secara intens agar pesantren benar-benar bisa eksis, berperan maksimal mengantarkan masyarakat pada kemampuan untuk menyikapi kehidupan-kehidupan kontemporer dengan segala dampak yang dibawahnya



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pesantren dan Santri
         Kata “pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe- dan akhiran yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), kata santri memiliki dua pengertian, yaitu (1) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh;orang saleh. Pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam. Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik. Sedangkan asal usul kata “santri” dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, “santri” berasal dari perkataan “sastri”, bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[1]Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa India secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2]Kedua, yang mengatakan “santri” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
         Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren, pondok atau pondok pesantren secara esensial mengandung makna yang sama, hanya sedikit perbedaan. Kata “pondok” berasal dari bahasa Arab yaitu funduq, artinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.
         M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren menurut M. Arifin :
Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership para ustaz dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[3]Adapun menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
         Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar, bahwa dilihat dari segi jenis pengetahuan yang diajarkan, pesantren terbagi menjadi dua macam. Pertama, Pesantren Salaf, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab Islam klasik (kitab kuning) saja dan tidak diberikan pembelajaran pngetahuan umum. Kedua, Pesantren Khalaf, yang selain memberikan pembelajaran kitab Islam klasik, juga memberikan pengetahuan umum dengan jalan membuka sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren.
         Demikian pula yang dikemukakan oleh Bahaking Rama, bahwa dari segi aktivitas pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat diklasifikasi dalam beberapa tipe, yaitu;
1)      Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang hanya menyelenggarakan pengajian kitab dengan sistem sorogan, bandongan dan wetonan.
2)      Pesantren semi modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan campuran antara sistem pengajian kitab tradisional dengan madrasah formal dan mengadopsi kurikulum pemerintah.
3)      Pesantren modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan local.
         Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai/ustaz, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.

B.    Metode Pesantren Dalam Membentuk Perilaku Santri
           Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam merespon sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Perilaku menunjukkan wajah kepribadian seorang manusia. Mereka terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang secara tetap pada setiap waktu dan tempat. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak terbentuk satu kali jadi. Juga bukan bawaan sejak lahir, tetapi merupakan suatu kebiasaan yang terbentuk dari waktu ke waktu. Ia harus dilatih berulang kali hingga nanti tergerak otomatis. Para ahli mengatakan, ‘pertama-tama kau membentuk kebiasaan, setelah itu kebiasaanmu yang akan membentuk engkau.’
Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan.
           Bagi pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, yakni ; 1) Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); 2) Latihan dan Pembiasaan (tadrib) ; 3) Mengambil Pelajaran (ibrah); 4) Nasehat (mauidzah); 5) Kedisiplinan; 6) Pujian dan Hukuman (targhib wa tahzib)

1.      Metode Keteladanan
           Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Pimpinan dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain,[4]karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang pimpinan atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.
2.      Metode Latihan dan Pembiasaan
           Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada pimpinan dan ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik pada junior, mereka memang dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian.
           Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan :
"Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai".
3.      Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)
           Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd. Rahman al-Nahlawi, seorang tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapam mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku yang sesuai. Adapun pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang.
4.      Mendidik melalui mau’idzah (nasehat)
           Mau’idzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.
”Mau’idzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk mengamalkan”.
           Metode mau’idzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santri, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.[5]
5.      Mendidik melalui kedisiplinan
           Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi.[6]
           Pembentukan lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus memperhatikan beberapa hal berikut :
a)   Perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;
b)      Hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas dendam dari si pendidik;
c)      Harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis pelanggaran disengaja atau tidak.
           Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.
6.      Mendidik melalui targhib wa tahzib
           Terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Tekanan metode targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.
           Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat. Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun bandongan.[7]
7.      Mendidik melalui kemandirian
           Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian.
           Terkait dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharingkehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.

C.    Peran Ustad Dalam Proses Identifikasi Santri
Sebelum menguraikan kedudukan (peran) ustad di pesantren, terlebih dahulu penulis uraikan pengertian ustad. Sebenarnya, kata “ustadz” berasal dari ajami (non-arab), persisnya bahasa Persia (Iran). Ustad berarti; da'i, mubaligh, penceramah, guru ngaji Quran, guru madrasah diniyah, guru ngaji kitab di pesantren, pengasuh/pimpinan pesantren; orang yang memiliki kemampuan ilmu agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim.
Orangtua memasukkan anaknya ke pondok pesantren biasanya disertai dengan harapan agar si anak mempunyai ilmu agama yang bagus, berakhlak mulia dan memahami hukum-hukum Islam. Selama ini tidak ada kekhawatiran bahwa dengan menuntut ilmu di pesantren akan menjauhkan kasih-sayang orangtua terhadap anak. Anak yang tinggal di pondok pesantren dalam waktu cukup lama tetap bisa beridentifikasi kepada kedua orangtuanya. Dengan menjalin komunikasi secara intens dan teratur diharapkan anak tidak akan kehilangan figur orangtua.
Seperti kita ketahui bahwa sumber identifikasi seorang anak tidak hanya kedua orangtuanya, tetapi bisa juga kepada figur-figur tertentu yang dianggap dekat dan memiliki pengaruh besar bagi anak. Keberadaan pimpinan, pembimbing, ustad maupun teman sebaya juga bisa mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.[8]
Kelebihan inilah yang dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dengan segala keterbatasannya pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga pembelajaran yang berlangsung terus-menerus hampir 24 jam sehari. Aktivitas dan interaksi pembelajaran berlangsung secara terpadu yang memadukan antara suasana keguruan dan kekeluargaan. Pimpinan sebagai figur sentral di pesantren dapat memainkan peran yang sangat penting dan strategis yang menentukan perkembangan santri dan pesantrennya. Kepribadian pimpinan yang kuat, kedalaman pemahaman dan pengalaman keagamaan yang mendalam menjadi jaminan seseorang dalam menentukan pesantren pilihannya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, santri mengidentifikasi pimpinan/ustad sebagai figur yang penuh kharisma dan wakil atau pengganti orang-tua. Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah-laku ustad. Santri juga dapat mengidentifikasi ustad sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu.
Pimpinan atau ustad di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua karakter, yaitu sebagai model dan sebagai terapis. Sebagai model, ustad adalah panutan dalam setiap tingkah-laku dan tindak-tanduknya. Bagi anak usia 7-12 tahun hal ini mutlak dibutuhkan karena ustad adalah pengganti orangtua yang tinggal di tempat yang berbeda. Dalam pesantren dengan jumlah santri yang banyak diperlukan jumlah ustad yang bisa mengimbangi banyaknya santri sehingga setiap santri akan mendapatkan perhatian penuh dari seorang ustad. Jika rasio keberadaan santri dan ustad tidak seimbang, maka dikhawatirkan ada santri-santri yang lolos dari pengawasan dan mengambil orang yang tidak tepat sebagai model.
      Sebagai terapis, pimpinan atau ustad memiliki pengaruh terhadap kepribadian dan tingkah-laku sosial santri. Semakin intensif seorang ustad terlibat dengan santrinya semakin besar pengaruh yang bisa diberikan. Ustad bisa menjadi agen kekuatan dalam mengubah perilaku dari yang tidak diinginkan menjadi perilaku tertentu yang diinginkan. Akan sangat bagus jika anak dapat belajar dari sumber yang bervariasi, dibandingkan hanya belajar dari sumber tunggal.[9]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                 Perjalanan hidup seorang manusia diawali pada waktu ia dilahirkan, dilanjutkan dengan suatu proses panjang yang akan menentukan bagaimana bentuk kepribadiannya pada masa dewasa. Identifikasi terhadap orang lain adalah salah satu dari sekian banyak proses yang dialami manusia. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana perilaku orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak ketika ia sedang dalam masa pertumbuhan. Orangtua yang hangat, berwibawa, penuh kasih-sayang, dan memiliki kompetensi dalam mendidik anak akan membawa pengaruh yang baik bagi anak, dan pengaruh ini akan dibawa sampai seorang anak mencapai kedewasaan.
                 Seorang anak yang tinggal berjauhan dengan orangtuanya karena menjalani pendidikan di pesantren tidak akan kehilangan kesempatan untuk beridentifikasi dengan kedua orangtuanya. Orangtua bisa meyakinkan anak bahwa kasih-sayang mereka tidak terputus meskipun terpisahkan oleh jarak. Komunikasi yang intens, kunjungan secara rutin, memantau perkembangan anak harus selalu dilakukan orangtua.
                 Adanya pembinaan metode pesantren, pimpinan, ustad, dan pembimbing dalam jumlah yang cukup, akan bisa mengganti peran orangtua selama anak tinggal dalam asrama. Pimpinan dan ustad di pesantren berperan dalam dua hal bagi santrinya, yaitu sebagai model dan sebagai terapis.


DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Tamyiz, Akhlak Pesantren : Solusi Bagi Kerusakan Akhlak. Yogyakarta: Ittiqa Press, 2001.
Djiwandono, Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan.Jakarta: Grasindo, 2002.
Dhofier, Zamkhasyari, Tradisi Pesantren. Cet. II; Jakarta: Mizan, 1998.
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977.
Mukhdar, Zuhdy, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya. Yogyakarta: 1989.
An-Nahlawi, Abd. Rahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. diterjemahkan Dahlan & Sulaiman, Bandung:  CV. Dipenegoro, 1992.
Nawawi, Hadari, Pendidikan Dalam Islam. Surabaya:Al-Ikhlas, 1993.
Prasodjo, Sudjoko, Profil Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.









[1] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977),  h. 19
[2] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan)h. 18
[3] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[4] Zuhdy Mukhdar, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya, (Yogyakarta, tnp, 1989)
[5] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001), h. 57-58
[6] Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya; Al-Ikhlas: 1993), h. 234
[7] Tamyiz Burhanuddin (2001)h. 61
[8] Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: Grasindo : 2002), h. 203
[9] Nurcholish Madjid, (Jakarta:1977) , h. 19-20

Makalah Studi Kasus

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur pada Allah SWT, yang memberikan hidayah dan taufiq sehingga tim penulis dapat menyelesaikan penelitian studi kasus ini. Shalawat beriring salam senantiasa pada baginda Muhammad SAW, melalui risalahnyalah kita dapat menikmati berbagai macam ilmu pengetahuan.
            Penelitian studi kasus sederhana yang berjudul “Kendali Puberitas Remaja” ini kami buat dengan usaha keras untuk tugas mata kuliah Pengantar Bimbingan Konseling, kami sadar masih banyak kekurangannya. Dengan ikhlas dan lapang hati demi penyempurnaan studi kasus ini, kami mengharapkan kritik dan saran serta uluran tangan dari pembaca.

            Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan informasi kepada kami dalam penelitian studi kasus ini. Semoga bukan hanya bermanfaat bagi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry tetapi juga untuk khalayak ramai masyarakat Aceh.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Studi Kasus
Dalam era kemajuan informasi dan teknologi, siswa semakin tertekan dan terintimidasi oleh perkembangan dunia akan tetapi belum tentu diimbangi dengan perkembangan karakter dan mental yang mantap. Seorang Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor mempunyai tugas yaitu membantu mengatasi permasalahan dan hambatan dalam perkembangan siswa.
Setiap siswa sebenarnya mempunyai masalah yang variatif. Baik bersifat pribadi, sosial, belajar, atau karier. Oleh karena kurangnya kemampuan siswa dalam memahami dan menanggapi hambatan atau permasalahan, maka konselor – pihak yang berkompeten – perlu memberikan intervensi. Apabila siswa tidak mendapatkan intervensi, siswa mendapatkan permasalahan yang cukup berat untuk dipecahkan. Konselor sekolah senantiasa diharapkan untuk mengetahui keadaan dan kondisi siswanya secara mendalam.
Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan pendekatan yang dapat digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu studi kasus (Case Study). Dalam perkembangannya, oleh karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi siswa dan semakin majunya pengembangan teknik-teknik pendukung – seperti hanya teknik pengumpulan data, teknik identifikasi masalah, analisis, interpretasi, dan treatment – metode studi kasus terus diperbarui.
Studi kasus akan mempermudah konselor sekolah untuk membantu memahami kondisi siswa seobjektif mungkin dan sangat mendalam. Membedah permasalahan dan hambatan yang dialami siswa sampai ke akar masalah, dan akhirnya konselor dapat menentukan skala prioritas penanganan dan pemecahan masalah bagi siswa tersebut.
B.     Pengertian Studi Kasus
Kamus Psikologi (Kartono dan Gulo, 2000) menyebutkan dua pengertian tentang Studi Kasus (Case Study) pertama Studi kasus merupakan suatu penelitian (penyelidikan) intensif, mencakup semua informasi relevan terhadap seorang atau beberapa orang biasanya berkenaan dengan satu gejala psikologis tunggal. Kedua studi kasus merupakan informasi-informasi historis atau biografis tentang seorang individu, seringkali mencakup pengalamannya dalam terapi. Terdapat istilah yang berkaitan dengan case study yaitu case history atau disebut riwayat kasus, sejarah kasus. Case history merupakan data yang terimpun yang merekonstruksikan masa lampau seorang individu, dengan tujuan agar orang dapat memahami kesulitan-kesulitannya yang sekarang . serta menolongnya dalam usaha penyesuaian diri (adjustment) (Kartini dan Gulo, 2000).

Berikut ini definisi studi kasus dari beberapa pakar dalam Psikologi dan Bimbingan Konseling, yaitu ;
Ø Studi kasus adalah suatu teknik mempelajari seorang individu secara mendalam untuk membantu memperoleh penyesuaian diri yang lebih baik. (I.Djumhur, 1985).
Ø Studi kasus adalah suatu metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seorang murid secara mendalam dengan tujuan membantu murid untuk mencapai penyesuaian yang lebih baik (WS. Winkel, 1995).
Ø Studi kasus merupakan teknik yang paling tepat digunakan dalam pelayanan bimbingan dan konseling karena sifatnya yang komprehensif dan menyeluruh. Studi kasus menggunakan hasil dari bermacam-macam teknik dan alat untuk mengenal siswa sebaik mungkin, merakit dan mengkoordinasikan data yang bermanfaat yang dikumpulkan melalui berbagai alat. Data itu meliputi studi yang hati-hati dan interpretasi data yang berhubungan dan bertalian dengan perkembangan dan problema serta rekomendasi yang tepat.

Jadi berdasarkan pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa studi kasus adalah suatu studi atau analisa komprehensif dengan menggunakan berbagai teknik, bahan dan alat mengenai gejala atau ciri-ciri/karakteristik berbagai jenis masalah atau tingkah laku menyimpang, baik individu maupun kelompok. Analisa itu mencakup aspek-aspek kasus seperti jenis, keluasan dan kedalaman permasalahannya, latar belakang masalah (diagnosis) dan latar depan (prognosis), lingkungan dan kondisi individu/kelompok dan upaya memotivasi terungkapnya masalah kepada guru pembimbing (konselor) sebagai orang yang mengkaji kasus. Data yang telah didapatkan oleh konselor kemudian dinvertaris dan diolah sedemikian rupa hingga mudah untuk diinterpretasi masalah dan hambatan individu dalam penyesuaiannya.

v  Tujuan Studi Kasus
Studi Kasus diadakan untuk memahami siswa sebagai individu dalam keunikannya dan dalam keseluruhannya. Kemudian dari pemahaman siswa yang mendalam, konselor dapat membantu siswa untuk mencapai penyesuaian yang lebih baik. Dengan penyesuian pada diri sendiri serta lingkungannya, sehingga siswa dapat menghadapi permasalahan dan hambatan hidupnya, dan tercipta keselarasan dan kebahagiaan bagi siswa tersebut.

v  Sasaran Studi kasus
Sasaran studi kasus adalah individu yang menunjukan gejala atau masalah yang serius, sehingga memerlukan bantuan yang serius pula. Yang biasanya dipilih menjadi sasaran bagi suatu studi kasus adalah murid yang menjadi suatu problem (problem case); jadi seorang murid membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan lebih baik, asal murid itu dalam keadaan sehat rohani/ tidak mengalami gangguan mental.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Kasus (Background)

Putrie ialah remaja kelahiran Batam yang berumur 17 tahun. Ia santri kelas 3 SMA di salah satu pesantren di Aceh. Ia bergaya trendy dan fashionable yang tinggi dibanding dengan teman-temannya di pesantren. Putrie merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Kakaknya kuliah di UI. Sementara kedua adiknya masih kecil. Ayah Putrie berasal dari Aceh, bekerja di sebuah perseroan terbatas yang harus bekerja sebulan penuh di luar Pulau Batam. Ibu Putrie sseorang ibu rumah tangga. Karena kesibukan ayah dengan bisnis dan ibunya yang mengurus kedua adiknya, ditambah lagi lingkungan pergaulan yang terlalu bebas di perkotaan, Putrie dikirim ke salah satu pesantren di Aceh karena disana ada rumah kakeknya. Sehingga jika masa liburan, ia juga bisa dijaga oleh kakek.
Putrie tak pernah kekuranganfinansial, segala keperluan dikirim oleh ayahnya. Akan tetapi ia tidak memiliki banyak teman, karena pergaulannya level kota. Sementara kebanyakan kawan-kawannya hanyalah orang-orang sederhana. Namun prestasi belajar Putrie lumayan bagus. Bahasa Inggrisnya pun lancar. Bahkan ia pernah mendapat ranking 1 di kelas 1 SMP.
Identifikasi Kasus
Berawal dari masa UN, ia sering berada di pustaka saat itu. Suatu hari di pustaka, ia bertemu seorang santriwan, Putroe. Tanpa sengaja kontak mata terjalin lama saling pandang. Sampai saat liburan UN mereka memulai komunikasi lewat handphone dan jejaring social. Keduanya pun terjalin akur dan kisah kasih dimulai disini. Hubungan terjalin sampai kelas 3 SMA. Hingga mereka pun memberanikan diri membawa sebuah hp yang disembunyikannya secara rahasia di pesantren. Agar tidak ketahuan oleh para ustazah.  Padahal, barang elektronik adalah barang terlarang dalam pesantren. Hukumannya pun bisa jadi dikeluarkan.
Perubahan banyak terjadi pada Putrie, ia sering membolos ke mushalla, kelas dan aktivitas lain. Ia bermain handphone di tempat-tempat tersembunyi. Bahkan saat libur hari Jumat Putrie berbohong pada ustazah dengan alasan pergi berbelanja keperluan ternyata ketemuan dengan Putroe. Mereka mulai kebiasaan keluar pesantren untuk bertemu, jalan-jalan, dan terjadilah apa yang terjadi.
Putrie mengalami kemunduran dalam prestasi belajarnya. Di kelas sering melamun, dan terlihat susah konsentrasi. Saat melamun Putrie tampak kuatir. Dia lebih sering mencoret-coret buku catatannya, sehingga Putrie sering tidak mempehatikan pelajaran yang diikutinya. Oleh karena itu Putrie sering mengerjakan PR saat pagi hari di kelas dengan meminjam pekerjaan temannya, juga sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan ustazah. Shalat jamaah jarang dihadiri dan sering mengantuk jika berjamaah di mushalla.
Perilaku mereka tak bisa disembunyikan dari para ustad dan ustazah. Lambat laun hubungan mereka ketahuan. Mereka pun disidang dan dihukum dengan pemanggilan orangtua. Seiring mendapat hukuman karena pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan. Putroe dan Putrie dirujuk kepada seorang konselor dan berkonsultasi dengan pimpinan pondok pesantren, membicarakan problem tersebut pada orangtua mereka, dan merujuk Putrie pada pertolongan yang lebih intensif. Konselor telah menghubungi orangtua mereka untuk izin konsultasi.


B.     Analisis Kasus

Uraian beberapa gejala yang terdapat pada kasus Putroe, rincian masalahnya, memungkinan penyebab masalah atau aspek diagnosis, dan kemungkinan akibat yang muncul dari masalah itu atau aspek prognosisnya.

1.      Kemungkinan Penyebab Melanggar Tata Tertib
·         Tidak begitu memahami kegunaan masing-masing aturan atau tata tertib yang berlaku di pesantren, hal itu terjadi mungkin karena aturan tersebut tidak didiskusikan dengan santri sehingga hanya terpaksa mengikutinya.
·         Santri yang bersangkutan terbiasa hidup terlalu bebas, baik di rumah maupun di masyarakat.
·         Ciri khusus perkembangan remaja yang agak sukar diatur tetapi belum dapat mengatur diri sendiri
·         Ketidak puasan pada mata pelajaran tertentu dilampiaskan pada pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.
·         Terjadi kerengganan hubungan antara guru dan murid.
·         Suasana sekolah dirasakan kurang menyenangkan bagi siswa
·         Merasa kurang mendapatkan perhatian dari ustad
·         Takut masuk kelas karena tidak membuat tugas dari guru

2.      Sebab dan Akibat dari Melanggar Tata Tertib
Ø  Tidak mengindahkan peraturan.
Ø  Tidak shalat jamaah, berbohong, membawa alat-alat elektronik, bolos kehadiran di kelas, dan tidak mengerjakan tugas.
Ø  Sering keluar pesantren.
Ø  Pelanggaran tersebut dilakukan berkali-kali.
Ø  Ciri khusus perkembangan remaja yang agak sukar diatur tetapi belum dapat mengatur diri sendiri.
Ø  Akibatnya, tingkah laku semakin tidak terkendali.
Ø  Minat terhadap pelajaran akan semakin kurang
Ø  Kegiatan belajar santri terganggu.

                              
C.    Penyuluhan Kasus (Treatment)
Dalam menangani kasus Putrie, Konselor menyusun beberapa metode.
1.      Perencanaan Program
ü    Mempertemukan Putrie dengan kedua orangtuanya
ü    Membimbing puberitas dengan nasehat
ü    Membahas peraturan-peraturan pesantren bersama santri
ü     

2.      Pengorganisasian
ü    Memberi peluang OSIS untuk Putrie
ü    Menyarankan masuk organisasi keputrian
ü    Membuka banyak aktivitas bermanfaat

3.      Pendekatan dan Teknik yang Digunakan
ü   Meluangkan waktu agar bisa curhat banreng
ü   Mengajak keterbukaan

4.      Pemantauan dan Evaluasi
ü   Menyarankan ustazah agar lebih perhatian dan pengertian.
ü   Memeriksa keamanan lingkungan pesantren
ü   Memantau aktivitas santri di pustaka
ü   Tidak sembarangan member izin pada santri


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Seperti kata Lenka Trouble is a Friend. Setiap remaja punya masalah. Apalagi remaja yang tinggal jauh dari keluarga. Mereka membutuhkan perhatian dan pengertian terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Orang-orang di seketar lingkungan juga bisa jadi pemicu positif maupun negative. Tanpa adanya pengontrol akan berakibat fatal. Seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, balapan liar dan perilaku negatif lain. Kurangnya pergaulan sosial juga memicu tekanan masalah. Karena curahan emosi tak mampu dibendung seorang diri. Maka perlulah seorang kawan untuk saling mencurah kan masalah pribadi.
Kasus Putroe dan Putrie menjadi contoh real dalam dunia remaja.